Fakta 10 Pelanggaran HUKUM dan HAM Freeport Indonesia



Penanganan dan pencegaan Pemerintah pusat melalui KEPMEN diketuai Dirjen PPHI dan Jamsostek, berlarut-larut menangani dan belum ada hasil yg dihasilkan keputusan Pemerintah utk status Mogok dan BPJPS dan THR utk itu kami mendesak Bapak Presiden RI melalui kementerian Tenaga kerja Dirjen Bawasnaker dan K3 berdasarkan surat No 565/687/2017, perihal : pendampingan pemeriksaan ketenagakerjaan khusus dengan Fakta-Fakta Pelanggaran Hukum dan HAM terhadap Karyawan PT Freeport Indonesia

Terdapat 3 hal yang menonjol Pasca Pemberlakuan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2017 tentang perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang Kegiataan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara;
  • Perubahan Divestasi Saham menjadi sebesar 51 % yang wajib dibayarkan perusahaan kepada Pemerintah Indonesia.
  • Pembangunan Smelter guna pemurnian basil dalam negeri.
  •  Kewajiban untuk merubah Kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Berdasarkan ketiga point tersebut diatas, telah terjadi tarik-ulur atau perundingan antara Pemerintah dengan PT Freeport Indonesia yang tidak kunjung usai, dampak dari hal tersebut mengakibatkan perusahaan mengklaim perlu menempuh langkah-langkah efisiensi biaya. Atas dasar klaim tersebut, dan pada 20 Februari 2017 PT Freeport Indonesia mengeluarkan kebijakan strategis berupa program efisiensi ‘Furlough’ dengan dalih lebih jauh bahwa Perusahaan merugi akibat tidak dapat menjual hasil konsentrat. Namun demikian, pernyataan bahwa perusahaan merugi tidak dapat dibuktikan, bahkan hingga saat ini PT Freeport masih dapat menjual hasil produksi mereka. Dengan kata lain tidak klaim PT Freeport Indonesia tidak terbukti.


Berikut adalah fakta-fakta yang masuk kategori pelanggaran Hukum dan HAM yang terjadi akibat tindakan dari PT Freeport Indonesia :

Merumahkan Karyawan (Furlough)

Bahwa pada tanggal 26 Februari 2017, PTFI mengeluarkan keputusan sepihak tanpa melalui perundingan terlebih dahulu dengan serikat pekerja atau wakil pekerja untuk program furlough/merumahkan karyawan ke tempat asalnya.

Bahwa Manajemen PTFI dalam membuat keputusan dan melaksanakan program furlough tidak disertai dengan ukuran atau indikator karyawan yang bisa terkena kebijakan tersebut.

Bahwa manajemen PTFI beralasan furlough merupakan kebijakan strategis yang tidak perlu dirundingkan dengan para pekerja maupun serikat pekerja. Perusahaan tidak membuktikan bentuk kerugian sebagai dasar untuk melakukan efisiensi atau pengambilan kebijakan Furlough.

Bahwa kebijakan furlough tidak disertai dengan kejelasan atau informasi soal berapa lama akan kembali bekerja. Bahwa, oleh karenanya, sehubungan dengan poin 4 diatas, tindakan merumahkan diduga kuat merupakan pemutusan hubungan kerja (PHK) terselubung, sebelum adanya PHK yang sebenarnya karena tidak ada jaminan kepastian kembali bekerja.
Bahwa perusahaan melakukan perekrutan karyawan, beberapa bulan setelah kebijakan efisiensi. Hal ini menandakan bahwa perusahaan tetap memerlukan karyawan.

Banyak dari Karyawan yang dikenakan Furlough adalah aktivis atau pengurus Serikat Pekerja di PT FI. Hal ini bsai dilihat sebagai Union Busting, pemberangusan organisasi atau serikat karyawan.
Adanya tindakan kekerasan dengan pembongkaran secara paksa barak karyawan oleh sekuriti PTFI dengan pengawalan penuh dari kepolisian yang menyebabkan keresahan mendalam bagi karyawan PTFI.

Bahwa sampai dengan saat ini, permintaan berunding oleh Serikat Pekerja PTFI mengenai “Furlough/Merumahkan” ditolak oleh perusahaan PT Freeport Indonesia, terhitung permintaan tersebut sudah dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali pada tanggal 20 Februari 2017 dengan Nomor Surat : ADV.015/PUK SPKEP SPSI PTFI/II/2017, 11 Maret 2017 dengan Nomor Surat : ADV/025/PUK SPKEP SPSI PTFI/III/2017, dan pada tanggal 21 Maret 2017 dengan Nomor Surat : ADV/027/PUK SPKEP SPSI PTFI/III/2017. Pada intinya PTFI tidak ingin melakukan dan menolak perundingan, PTFI hanya melakukan sosialisasi terkait update status kondisi perusahaan.

Bahwa perlu diketahui dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan atau PKB/PHI 2015-2017 tidak mengatur atau menjelaskan secara terang apa yang dimaksud mengenai furlough. Dan furlough tersebut sudah melanggar ketetuan Perundang-undangan dan PKB yang ada


Program Pengakhiran Hubungan Kerja Sukarela (PPHKS)

Bahwa PPHKS didasarkan kepada kebijakan efisiensi biaya oleh PT Freeport Indonesia akibat dari disahkannya PP No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dan Mineral dan Batu Bara.

Bahwa berdasarkan pada fakta hukum tanggal 13 Maret 2017 dalam Interoffice Memorandum Manajemen PTFI telah dilakukan Penawaran PPHKS bagi Pekerja Level 1-6 atau bisa juga disebut dengan Karyawan Pratama yang sedang menjalankan program Furlough dengan pernyataan tidak ada program dan lebih memastikan untuk kesejahteraan para karyawan kedepannya. Lebih jauh, pihak Manajemen PTFI dalam pelaksanaan program ini tidak mau merundingkan dengan serikat pekerja/serikat buruh guna mencapai kesepakatan.

Bahwa PTFI melakukan pemaksaan dengan menawarkan secara berkala dan terus menerus yang mendesak para karyawan PTFI untuk mengikuti PPHKS, hal ini bertentangan dengan prinsip sukarela, dimana seharusnya ditawarkan dalam pelaksanaan PPHKS, atas dasar keinginan para karyawan itu sendiri.

Bahwa ancaman PT FI , bisa dilihat dalam Interoffice Memorandum Manajement PTFI, pada 23 April 2017, terkait dengan PPHKS dinyatakan “Perusahaan tidak memiliki rencana untuk memanggil kembali para karyawan yang sedang menjalani program furlough, kami terus menganjurkan para karyawan yang terkena program furlough untuk mempertimbangkan dengan seksama dan berpartisipasi dalam PPHKS”

Bahwa didasarkan dengan fakta yang terjadi diatas, PT Freeport Indonesia telah terbukti secara nyata tidak melakukan dengan sungguh-sungguh upaya minimalisasi pengurangan tenaga kerja sebagaimana yang tercantum dalam pasal 45 PKB XIX PTFI tentang Pemutusan Hubungan Kerja,

“Perusahaan dan PUK SPKEP SPSI PTFI sepakat bahwa Pemutusan Hubungan Kerja sedapat mungkin harus dicegah apabila PHK tidak dapat dielakan maka untuk ketentraman dan kepastian kerja bagi pekerja kedua belah pihak sepakat bahwa tata cara PHK diatur dalam pasal-pasal berikut ini…”

Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas jelas terlihat adanya tindakan perusahaan yang sewenang-wenang berupa pemaksaan terhadap para karyawan untuk mengikuti PPHKS agar terhindar dari Perselisihan Hubungan Industrial antara Perusahaan dan Serikat Pekerja dan terbukti PTFI memiliki itidak tidak baik untuk memperkejakan kembali karyawan-karyawannya yang sedang dilanda perasaan tertekan atas tidak ada jaminan yang pasti untuk dapat bekerja secara normal.


Unjuk Rasa yang berujung PHK sepihak

Bahwa pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 mengenai Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyatakan “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bahwa pada Pasal 25 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan juga “ Setiap Orang berhak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Bahwa pada tanggal 12 April 2017, ribuan pekerja PT Freeort Indonesia turun ke Timika secara bertahap dan spontan karena dilanda keresahan akibat program Furlough dan sebagian dari pekerja yang turun juga dikarenakan bertepatan dengan hari liburnya serta para pekerja yang tidak puas dengan sikap PT FI yang menyatakan menolak perundingan atas penghentian program Furlough antara Manajemen PT Freeport Indonesia dengan Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia.

Bahwa berdasarkan ketentuan isi pasal diatas serta dikaitkan dengan fakta hukum yang terjadi, aksi spontanitas yang dilakukan oleh para pekerja PT Freeport Indonesia tergolong sebagai aksi untuk penyampaian aspirasi para pekerja dikarenakan adanya tindakan pelanggaran yang mencenderai dan direnggut secara paksa hak-hak asasi para karyawan.

Bahwa dikarenakan aksi yang dilakukan oleh para pekerja PT Freeport Indonesia, akhirnya PT Freeport Indonesia memanfaatkan situasi dengan memutus hubungan kerja secara sepihak karena dianggap telah mangkir dari pekerjaan dan hal tersebut bertentangan dengan isi PKB antara pekerja dengan perusahaan dan Undang-Undang Ketenagakerjaan .


Fakta mengenai MOGOK KERJA yang berujung PHK sepihak

Bahwa ketentuan mengenai hak bagi para pekerja untuk melakukan Mogok Kerja tertuang pada Pasal 137 Undang-Undang No 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Mogok Kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat butuh yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”

Bahwa gagalnya perundingan yang dimaksud dapat merujuk kepada Pasal 4 KEPMEN No. 232 Tahun 2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah yang menyatakan “Gagalnya perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah tidak tercapainya kesepakatan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan walaupun serikat pekerja/serikat buruh telah meminta secara tertulis kepada pengusaha sebanyak 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja atau perundingan-perundingan yang dilakukan mengalami jalan buntu yang dinyatakan oleh para pihak dalam risalah perundingan.

Bahwa didalam pasal 139, 140 dan 142 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur pula mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dalam melakukan Mogok Kerja untuk dikatakan sah menurut hukum.. Bahwa berdasarkan pada fakta yang ada, aksi mogok kerja yang dilakukan oleh Serikat Pekerja PT Freeport Indonesia sudah tergolong kepada aksi mogok kerja yang memenuhi syarat diatas, dan untuk itu sah menurut hukum, hal tersebut terlihat dari :

Serikat Pekerja PTFI sudah menyurati sebanyak tiga kali terhitung mulai dari bulan Februari tentang ajakan perundingan mengenai kebijakan furlough yang dikeluarkan oleh perusahaan akan tetapi perusahaan tidak pernah menanggapi perundingan tersebut dengan alasan bahwa kebijakan tersebut merupakan kebijakan strategis yang tidak memerlukan perundingan--sebagaimana disebutkan diatas, pada bagian I. Furlough, PT FI tidak pernah membuktikan apa yang dimaksud dengan Kebijakan Strategis? Tidak bisa membuktikan secara riil (dalam hitungan angka) bentuk kerugiannya.

Pemberitahuan mengenai Mogok Kerja sudah dilakukan terhitung dari 10 (sepuluh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja dilaksanakan, Serikat pekerja PTFI sudah Menyurati manajemen PTFI dengan memuat waktu dan tempat mogok kerja dilakukan, Beserta alasan dan sebab mogok kerja dilaksanakan,Serta sudah ditanda tangani ketua dan sekretaris sebagai penanggung jawab mogok kerja yang akan dilaksanakan

Bahwa Syarat diatas, unsur a-c, sudah sesuai dengan pasal 140 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memuat mengenai syarat-syarat sah Mogok Kerja yang antara lain diwajibkan untuk : 1) Memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sekurang-kurangnya dalam waktu 7 hari sebelum mogok kerja; 2) Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat waktu, tempat mogok kerja, alasan dan sebab-sebab melakukan mogok kerja dan tanda tangan ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.Bahwa atas prosedur tersebut, PT FI hanya bersikeras bahwa Kebijakan Strategis mereka tidak bisa dirundingkan.

Bahwa selama dilaksanakannya mogok kerja, perusahaan menindak dengan memutus hubungan kerja secara sepihak kepada para pekerja yang ikut berpartisipasi dalam mogok kerja karena dianggap mangkir selama 5 (lima) hari dan tindakan tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang perusahaan yang sangat bertentangan dengan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


Fakta mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Pasal 5 Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Soial Nasional adalah Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada presiden dan memiliki tugas untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.

Bahwa sejak terjadinya Mogok kerja pada tanggal 1 MEI 2017 yang dikategorikan mangkir oleh perusahaan, PTFI melakukan pelanggaran dengan langsung menon-aktifkan akses kepersetaan BPJS dan menutup semua akun rekening bank yang dimiliki para karyawan.

Bahwa perlu diketahui permasalahan penon-aktifan peserta BPJS kesehatan berawal dengan ditemukannya permasalahan Ama Nurjaman Houbrouw pada tanggal 24 Mei 2017 terdapat kendala dalam rangka penggunanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan dipergunakan oleh istri Sdr. Ama Nurjaman dengan No. Kartu BPJS 001584791223. Namun, keesokan harinya yaitu pada Tanggal 25 Mei 2017 Pihak Rumah Sakit mengkomfirmasi bahwa status kepersetaan JKN a.n Sdr Ama Nurjaman tidak aktif karena telah terjadi penon-aktifan oleh PT Freeport Indonesia melalui Aplikasi E-Dabu pada tanggal 24 Mei 2017.

Bahwa setelah dicermati lebih jauh Sdr. Ama Nurjaman telah tidak aktif sebagai Karyawan PT Freeport Indonesia sejak tanggal 8 Mei 2017 akibat PHK secara ilegal yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia. Pada tanggal 19 Juli 2017, DJSN bersama sama dengan perwakilan perusahaan, perwakilan BPJS, Disnaker dan perwakilan para pekerja mengadakan pertemuan terkait permasalahan BPJS yang dialami para pekerja..
 
Tanggal 31 Agustus 2017, DJSN mengeluarkan surat perihal pengaktifan pelayanan JKN untuk PPU dari PTFI kepada Direktur Utama BPJS "Bahwa berdasarkan informasi yang kami terima dari PC SPKEP SPSI Kabupaten Mimika terkait permasalahan BPJS diperkirakan ada sekitar 4.200 orang peserta BPJS dari karyawan PTFI yang dianggap mangkir karena mogok kerja dan sekitar 4.000 orang Kontraktor PTFI yang di PHK kemungkinan Kartu BPJS kesehatanya sudah tidak aktif.
 
Bahwa dikarenakan terjadi pemblokiran akses layanan kesehatan terdapat 7 orang meninggal dunia yang mana hal ini telah merugikan dan menimbulkan penderitaan yang mendalam serta adanya tindakan pelanggaran hak atas jaminan kesehatan para karyawan.

Berdasarkan pada fakta hukum yang ditemukan, bahwa karyawan sudah tidak bisa mengakses BPJS kesehatan sejak dikeluarkannya keputusan PHK bagi para karyawan yag melakukan mogok kerja. Sekalipun para karyawan yang melakukan mogok kerja di PHK secara sepihak terhitung semenjak keluarnya keputusan PHK tersebut. Para karyawan sudah seharusnya tetap mendapatkan hak mereka terutama hak atas jaminan kesehatan yang dilindungi oleh Peraturan Perundang-undangan seperti yang tertuang sesuai pada Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan:

“Kepesertaan jaminan kesehatan tetap berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak seorang peserta mengalami pemutusan hubungan kerja”.Berdasarkan ketentuan isi pasal diatas, BPJS yang memiliki fungsi mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial seharusnya tidak secara spontan menon-aktifkan akses kesehatan para karyawan. dikarenakan secara prosedural. jaminan kesehatan para karyawan masih dapat di akses.


Fakta adanya Kekerasan dan Intervensi Tentara dan Polisi


Adaya tindakan sewenang-wenang dengan memanfaatkan sarana/tempat kegiatan ibadah (mushola/masjid) sebagai tempat untuk mengumumkan berita mengenai program Furlough dan PPHKS PT FI.

Terhitung sejak 05 mei 2017, polisi terlibat dalam mengamankan dan mendampingi pihak Security dan pihak Manajemen PTFI untuk mengusir dan mengeluarkan barang-barang para pekerja dari kamar barak mereka secara paksa.

Pada hari Sabtu, 19 Agustus 2017, Pukul 15.00 WIT para Karyawan mulai menduduki Check Point (CP) 28. Pada Pukul 18.00 WIT adzan berkumandang dan para karyawan mulai menggelar kegiatan Sholat Mahrib, dan Zikir bersama-sama di CP 28. Bahwa sekitar jam 19.00 WIT para karyawan yang sedang melakukan ibadah dan doa bersama dibubarkan secara paksa dengan melakukan tembakan Peringatan ke Udara dan tembakan water Canon kearah Pekerja serta disusul dengan rentetan tembakan menggunakan senapan api ke arah para karyawan yang menimbulkan 4 orang menjadi korban dengan mengalami luka-luka berat.

Bahwa akibat dari aksi tersebut, pada 19 hingga 23 Agustus 2017 pihak Polres Mimika Baru menangkap dan menahan 9 orang pekerja yang dianggap melanggar ketertiban umum dengan tanpa adanya bukti dan proses hukum yang jelas. Pada akhirnya terhadap 2 dari 9 orang tersebut berkasnya sudah dinaikkan ke kejaksaan dan sudah dimulai proses persidangan terhadap ke 2 orang tersebut. dan sisa 7 orang lagi masih ditahan tanpa adanya kejelasan dari pihak kepolisian terkait status dan proses hukum yang mereka hadapi. Lalu terdapat 2 orang dari sisa 7 orang yang di isolasi oleh pihak kepolisian dan tidak diberikan izin untuk menerima kunjungan dari siapapun termasuk pihak keluaraga. 

Berikut ialah data singkat terkait 9 orang yang ditahan :
Nama : John yawang
Tempat tanggal lahir : Jayapura, 24-11-1980
No. Id :F901811
Departemen :PT. Kpi Rood Maintenance HI/LI
Kronologi :Kena tembakan di ibu jari kaki, mendapatkan 3 jahitan
dan ditetapkan sebagai tersangka (ditahan di Polsek Kuala Kencana Terisolasi

Nama :Steven Edward Yawan
Tempat tanggal lahir :Jayapura, 24-02-1987
Pekerjaan :Karyawan PT. Freeport indonesia
Departemen :Hauling Grs Maintenance
Status :Tersangka ( penahanan di Polsek Kuala Kencana
Terisolasi)

Nama : Lukman
Tempat tanggal lahir : 37 tahun
Departemen : PT Freeport Indonesia
Status : Terdakwa, tanggal 05 Desember 2017 tahap
pemanggilan saksi di pesidangan di PN Timika
Nama : Patriot Wona
Tempat tanggal lahir :Jayapura, 14-08-1983
Perusahaan :PT. Kuala Pelabuhan indonesia
Status : tersangka, diambil rumahnya pada tgl 20/8/2017 pukul 05 WIT tahanan di Polres Mimika Baru

Nama : Deny Baker Purba
Tempat tanggal lahir : Medan 02 April 1974
Perusahaan : PT. Mahaka Plant
Status : Tersangka diambil rumah kediaman membawah ke polsek miru

Nama :Arnon Mirino
Tempat tanggal lahir : Timika, 02 Agustus 1990
Perusahaan : PT.Freeport Indonesia
Status : Tersangka di Polres Mimika Baru

Nama :Napoleon Korwa
Tempat tanggal lahir :Biak-30-11-1979
Perusahaan : PT.Freeport Indonesia/Grasberg Operation
Status : Terdakwa, tanggal 07 Desember 2017 sidang dakwaan
di PN Timika

Nama :Labai alias. Zaki
Tempat tanggal lahir :Ambon, 28 Januari 1974
Perusahaan : PT.Freeport Indonesia
Status : Tersangka di Polres Mimika Baru

Nama :George Suebu
Perusahaan : PT.Freeport Indonesia/ Ore Flow
Status : Tersangka
Kronologi penangkapan : Proses penagkapan terjadi dirumahnya pada malam
hari tanggal 22 Agustus 2017

Bahwa berdasarkan fakta hukum diatas, siapapun yang menghalang-halangin kegiatan beribadah melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 29 ayat (2) mengatur, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal ini diperkuat kembali berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 4 menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Oleh karena itu, aparat keamanan yang memiliki fungsi penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat telah melakukan penyimpangan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi. Sebaliknya dalam kenyataannya diatas, aparat keamanan secara sewenang-wenang membuat tindakan tidak brutal dengan membubarkan secara paksa saat sekumpulan orang melakukan kegiatan ibadah.

Bahwa pada ...... adanya indikasi tindakan penyerangan dan penghinaan terhadap para wartawan oleh oknum anggota polres Mimika atas nama Daniel Sitawa dengan mendatangi kediaman tempat para wartawan dengan melakukan tindakan meneriaki dengan perkataan-perkataan yang menciderai profesi wartawan. disamping itu pula, adanya tindakan dengan merusak properti seperti kursi dan meja yang ada dan membawa senjata laras panjang dengan amunisi yang terisi penuh.
Pada tanggal 27 sampai 30 April 2017, diadakan oertemuan antara manajemen PTFI dan serikat pekerja yang difasilitasi oleh Pemerintah Mimika dalam hal ini oleh Wakil Bupati Mimika. Dalam perundingan tersebut, polisi terkesan memihak kepada PTFI dan membela manajemen PTFI dengan menekan para pekerja/perwakilan serikat pekerja dengan cara tidak membolehkan para pekerja beristirahat ataupun pulang sampai tercapainya hasil kesepakatan di pertemuan tersebut. Pemaksaan berunding...smapai pagi tidak boleh meninggalkan ruangan...

Fakta mengenai Kejahatan dan Pelanggaran tanpa hukum
Bahwa yang dimaksud dengan kejahatan atau Pelanggaran tanpa hukum adalah telah adanya pengaduan dan laporan dari Karyawan, Keluarganya dan Serikat, terhadap beberapa Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab terkait pelanggaran penyelisihan hak-hak asasi para karyawan namun tidak ada tanggapan atau tindakan secara tegas yang menunjukan keseriusan mengatasi semua permasalahan para karyawan.

Sejak mulai diberlakukan Program Furlough pada tanggal 26 Februari 2017, para karyawan telah berkirim surat dengan No. ADV.019/PUK SPKEP SPSI PTFI/II/2017 kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia (Menaker RI) perihal keprihatinan permohonan bantuan terhadap tindakan sepihak yang dilakukan oleh PTFI namun Menaker tidak merespon dan segera menanggapi aduan yang telah diberikan.

Disamping Menaker RI, para karyawan telah berkirim surat 2 (dua) kali pada Tanggal 21 Juli 2017 terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Perumahan Rakyat Kab. Mimika (Disnaker Mimika) dengan No. ORG.106/PUK SPKEP SPSI PTFI/VII/2017 perihal permasalahan penok-aktifan akses kepersetaan BPJS yang dilakukan secara spontan oleh PTFI terhadap para karyawannya, dan surat kedua dengan No. ORG.107/PUK SPKEP SPSI PTFI/VII/2017 perihal mogok kerja sah yang dikategorikan mangkir oleh PTFI. Namun disini memberikan surat tanggapan dengan No. 560/800/2017 pada tanggal 28 Agustus 2017 dengan memberikan 3 (tiga) opini yaitu:
Bahwa definisi Fulough tidak diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan
Kami akan menugaskan Pegawai Pengawas untuk melakukan pemeriksan ketenagakerjaan khusus ke PTFI dan meminta bukti-bukti dar management PTFI.
THR BPJS dan lain-lain terkait karyawan yang mogok menunggu hasil dari Pemeriksaan Ketenagakerjaan Khusus.
berdasarkan surat tanggapan tersebut dan dipertegas kembali dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. 43 Tahun 2017 tentang Tim Pemantau dan Pencegah Permasalahan Ketenagakerjaan di PTFI memutuskan beberapa hal, diringkas sebagai berikut :
Membentuk Tim Pemantau dan Pencegah Permasalahan Ketenagakerjaan di PTFI.
maksud dan tujuan membentuk Tim Pemantau dan Pencegah Permasalahan Ketenagakerjan untuk menciptakan kondisi hubungan yang kondusif dan mengantisipasi serta mencegah timbulnya permasalahan ketenagakerjan.

Berdasarkan kedua point diatas, apa yang dimaksud Tim Pemantau dan Pencegah Permasalahan Ketenagakerjaan/Tim Khusus sama sekali tidak ada progress dan tindakan serta upaya yang seharusnya wajib segera dilaksanakan untuk mengatasi dan menyelesaikan serta mencari-cari bukti terkait pelanggaran-pelanggaran hak asasi para karyawan PTFI, akan tetapi disini Tim Khusus juga tidak dapat menjalakan tugasnya untuk mencegah atau mengantisipasi masalah ketenagakerjaan, karena faktanya permasalahan-permasalahan dan pelanggaran yang dilakukan oleh PTFI kepada para karyawannya telah menimbulkan kerugian-kerugian dan penderitaan mendalam serta meniadakan secara paksa hak-hak asasi yang melekat pada para karyawan.

Disamping itu, setelah meminta permohonan dan bantuan kepada Dinas dan Menteri Tenaga Kerja. Para Karyawan juga meminta bantuan terhadap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas Ham RI), Onbudsman dan Presdent Republik Indonesia. Namun lagi-lagi tidak ada tindakan secara nyata dan tegas yang membuktikan keseriusan untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami para karyawan PTFI.

Bahwa terkait penonaktifan BPJS, dan meminta bantuan terhadap Dewan Jaminan Soial Nasional (DJSN) dimana disini DJSN berkirim surat pada tanggal 31 Agustus 2017 kepada Preiden Republik Indonesia dengan No. 840/DJSN/VIII/2017 pengaktifan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari PTFI dengan isi surat yang diringkas sebagai berikut:

Menindaklanjuti hasil rapat pleno DJSN tanggal 15 Agustus 2017 adanya laporan aduan penokatifan pelayanan JKN PPU dari PTFI tanggal 24 Mei 2017, maka dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
DJSN telah melakukan penanganan laporan aduan.
berdasarkan penonaktifan pelayanan JKN pada tanggal 24 Mei 2017 terhadap Sdr. Ama Nurjaman Houbrow dan kurang lebih 4000 orang PPU PTFI dan kurang lebih 9000 orang lainnya melanggar 3 (tiga) azas SJSN: Azas Kemanusiaan, Azas Keadilan dan Azas Kemanfaatan.
BPJS Kesehatan telah lalai mencegah terjadinya pelakuan diskriminatif terhadap Sdr. Ama Nurjaman Houbrow karena seharusnya status akses kesehataanya masih aktif.
Bahwa berdasarakan beberapa uraian diatas, kami menduga secara keras Instansi Pemerintah dan Negara tidak bisa mengambil tindakan atau keputusan untuk menuntaskan dan mengatasi perselisihan hak karyawan PTFI yang semakin berlarut-larut.

Fakta mengenai adanya Penghilang Orang Secara Paksa Oleh Oknum Yang Tidak Bertanggung Jawab.

Penghilangan paksa adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan kejahatan berdasarkan hukum internasional yang melanggar hak orang-orang yang hilang dan orang yang mereka cintai. Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa, yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1992 dalam Passal 13 ayat (6), menetapkan bahwa penyelidikan "harus dilakukan selama nasib korban penghilangan paksa tetap tidak jelas".
Pasal 17 ayat (1) juga menyatakan bahwa "penghilangan paksa dianggap sebagai pelanggaran terus menerus selama pelaku terus menyembunyikan takdir dan keberadaan orang-orang yang telah hilang dan fakta-fakta ini tetap tidak jelas

Diketahui Martinus Beanal, seorang pekerja Papua telah menghilang sejak 7 November di tengah dugaan meningkatnya bentrokan bersenjata di desa Utikini, Kabupaten Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Polisi telah mengumumkan bahwa dia telah meninggal dan dikuburkan oleh keluarganya, sebuah klaim yang telah dibantah oleh keluarganya. Keberadaannya hingga saat ini masih belum diketahui.

Tanggal 7 November Martinus Beanal dinyatakan hilang dalam perjalanan pulang pada pagi hari Ia berangkat dari kompleks perusahaan di Kabupaten Tembagapura ke desanya di desa Opitawak, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua pada pukul 5 pagi. Menurut keluarganya, Martinus mengatakan bahwa ia dihentikan oleh angkatan bersenjata yang melarangnya lewat karena operasi militer dan polisi di daerah tersebut. Karena blokade tersebut, Martinus melewati rute alternatif ke desanya yang seharusnya membawanya sekitar 2 sampai 3 jam berjalan. Sekitar pukul 06.30 dia menelepon anggota keluarganya untuk memberitahukan bahwa dia sedang beristirahat di dekat menara telekomunikasi. Dia mengatakan kepada anggota keluarganya bahwa dia tidak yakin tentang rute mana yang harus diambil karena jalan tersebut memiliki persimpangan dan mereka memiliki beberapa jejak sepatu militer di sepanjang jalan. Panggilan itu terputus saat salah seorang keluarganya mendengar serangkaian tembakan di telepon.

Bahwa diduga adanya keterkaitan polisi dan PTFI dalam berusaha menyembunyikan bukti-bukti untuk menemukan fakta dan kebenaran terkait status keberadaan Matrinus Beanal.

Pemberangusan Serikat Pekerja yang dilakukan Manajemen PTFI

Bahwa terhadap 200 komisaris Serikat Pekerja diberlakukan furlough sehingga mereka tidak dapat menjalankan fungsi mereka sebagai fungsionaris serikat pekerja karena mereka dipulangkan secara paksa ke daerah mereka masing-masing.

Bahwa manajemen PTFI mengintimidasi karyawan yang ingin melakukan mogok kerja dengan menulis surat yang menyatakan rencana aksi mogok kerja yang dilakukan SPSI tidak sah dan berlandaskan pada alasan yang salah.

Bahwa terhadap aksi mogok kerja yang tetap dijlankan para pekerja, PTFI memberikan surat yang berisikan ancaman terhadap para pekerja jika para pekerja tetap melaksanakan aksi mogok kerja, para pekerja akan dikualifikasikan mangkir dan tidak akan mendapatkan upah bagaimana selayaknya. Perlakuan PTFI yang mengancam dan mengintimidasi karyawan Freeport tersebut melanggar Pasal 143 jo Pasal 185 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pemblokiran Rekening karyawan PTFI

Bahwa terhadap para karyawan yang di furlough maupun PHK sepihak, PTFI melakukan pemblokiran atas rekening mereka, pada rekening mereka terdapat uang tabungan keluarga, hasil kerja mereka dan uang pribadi mereka yang karena pemblokiran tersebut tidak dapat digunakan atau ditarik oleh para pekerja.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pribadi Yesus

SELAMAT PASKAH 2017 : Tiga Hari Suci Dan Minggu Paskah

Renungan dan Doa Di Ulang Tahunku