Bagian 2) PILGUB SUMUT: MEGAWATI TUNJUKKAN CERMIN INER SIRCLE POLITIKNYA SEBAGAI ANTI MILITER



Oleh: Natalius Pigai

Penunjukan Jarot Saiful Hidayat oleh PDIP sebagai calon Gubernur Sumatera Utara merupakan hal yang biasa bagi orang awan. Mungkin sebagian orang berfikir bahwa Jarot Saiful Hidayat bukan kader biasa, beliau kepala daerah 2 Peride di Blitar, juga pernah menjadi wakil gubernur dan gubernur di DKI jakarta.

Pertanyaannya politisnya, kalau sudah berprestasi kenapa tidak menunjuk Gatot Saiful Hidayat sebagai Calon Gubernur Jawa Timur, Kampung halamannya? Megawati memiliki kalkulasi politik tersendiri bahwa bagi masyarakat Jawa Timur Jarot Saiful Hidayat bukan siapa-siapa? Beliau adalah mantan Wali Kota terkecil yang terletak dibawah kaki Gunung Kelud, tidak memiliki sumber saya alam dan bahkan tingkat ketergantungan ( ratio dependentia)  tertinggi di Jawa Timur bahkan mungkin di Indonesia. Demikian pula Jarot juga menjadi Wakil    Gubernur dan Gubernur DKI Jakarta bukan Karena prestasi politik namun karena menerima durian runtuh dalam masa bhakti seumur jagung.

Partai PDIP perjuangan adalah partai yang pandai bersandiwara cenderung melodramatik. Lihat saja akhir-akhir ini pemimpin-pemimpin partai cengeng, tangis startegi menarik simpati publik Jawa Timur.

Nilai jual Gatot ke Sumatera Utara hanya satu bahwa Gatot dicitrakan sebagai orang baik, pemimpin yang nyaris tudak bermasalah dan sebagian besar orang awam menganggap Gatot Berprestasi di Kabupaten Terkenal tempat kelahiran Soekarno. Padahal kota paling Kecil di Jawa Timur.

Lantas apa tujuan utama Ibu Megawati mengutus Jarot ke Sumatera Utara?. Bisa diduga tidak lain, tidak bukan adalah membendung munculnya TNI masuk dalam ranah sipil, bukan karena semata-mata demi kedigdayaan sipil (civilian cintrol) tetapi karena Megawati Sukarno Putri menyimpan amarah dan dendam masa lalu terhadap Militer.

Peristiwa 27 Juli 1996 adalah peristiwa kelam (noda hitam) karena Suryadi menguasai panggung politik PDI dimana kongres di Medan, Suryadi dibekingi oleh Militer. Peristiwa 1996 salah satu puncak dari keberadaan Megawati Sukarno Putri yang selalu berada dibawah tekanan militer sejak masuk dalam panggung politik di awal tahun 1980-an. Untungnya, Megawati dijaga dan  diselamatkan oleh LB Murdani yang berkuasa saat itu.

Ketika Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden, Megawati menghadapi problem paling serius di Sumatera Utara karena tuntutan internasional dan masyarakat terkait kasus Indorayon yang dibekingi tentara. Berangkat dari berbagai pengalaman ini ternyata di tubuh PDIP perjuangan tidak menunjukkan simpati terhadap militer khususnya Angkatan Darat. Rasa kebencian Megawati terhadap militer telah ditunjukkan dengan tidak banyak menampung Pensiunan Perwira Tinggi Militer  sebagai kader PDIP. Kecuali TB Hasanudin.

Hubungan yang paling tidak harmonis juga ditunjukannya dengan adanya dendam kesumat Megawati Sukarno Putri dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai politikus yang berasal dari perwira tinggi militer. Terlemparnya Sutiyoso dari BIN dan digantikan dengan Budi Gunawan orang dekat Megawati. Hampir semua mantan Panglima TNI cenderung kurang harmonis baik dengan Megawati maupun juga PDIP. Salah satunya adalah kegagalan Jenderal Moeldoko yang cemerlang saat itu untuk mendampingi Joko Widodo sebagai Calon Wakil Presiden tahun 2014.

Dengan melihat gambaran tersebut diatas dapat menarik kesimpulan bahwa pakem politik Megawati Sukarno Putri sebagai pengendali tunggal PDIP perjuangan adalah politik anti militer (anti tentara). Dan itulah iner sircle politik Megawati Sukarno Putri.

 Kembali ke Pilkada Sumatera Utara, bahwa perutusan Jarot Saiful Hidayat sesungguhnya adalah PDIP mau membatasi terpilihnya Edy Rahmayadi (mantan Pangkostrad) menjadi gubernur. Selain mengganggu suara dari suku Batak, juga Melayu dan Jawa. Megawati sangat paham bahwa Jarot adalah orang asing di Sumatera utara, Jarot bukan siapa-siapa dan Megawati juga tahu betul bahwa politisi PDIP dari Sumatera Utara seperti Efendi Simbolon, Mauarar, Sukur Nababan dan lain sebagainya pasti tidak senang dengan keputusannya.

Sikap Megawati dan PDIP yang cenderung membatasi atau menghambat munculnya gubernur berlatar belakang militer di Sumatera utara perlu dipikir ulang karena bagaimanapun gubernur berlatar belakang sipil cenderung koruptif dan berakhir di penjara. Bahkan tidak menujukkan prestasi dan kinerja yang baik. Apalagi Sumatera Utara yang berada di beranda depan pertahanan baik darat dan utara. Sumatera utara merupakan salah satu provinsi yang berbatasan langsung dengan negara-negara macan seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan juga samudra India.

Pangkalan Udara Polonia juga merupakan satu satunya pangkalan angkatan udara terbesar di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dan selat Malaka. Konflik Laut China Selatan, penetrasi Kapital China melalui taipan2 hoakiu yang berbasis di Singapura dan Malaysia yang menguasai jutaan hektar di  sektor perkebunan di Sumatera, mobilitas barang dan jasa melalui selat Malaka dengan segala kompleksitas persoalan seperti perdagangan manusia (traficking) dan penyelundupan ( smugling). Demikian pula Sumatera Utara dengan tipologi masyarakat yang cenderung keras, transaksional dan Problematik.

Mengatasi berbagai kompleksitas persoalan diatas membutuhkan seorang figur gubernur yang tegas, bersih dan berwibawah sehingga figur militer sangat tepat untuk memimpin Sumatera Utara pada periode yang akan datang. Saya aktivis 98 dan aktivis kemanusiaan yang pernah menjadi korban dari militer tentunya tidak relah jika militer masuk panggung politik. Namun demikian, pada saat ini kita sedang menikmati era demokrasi sehingga tidak perlu alergi atau dikotomi militer-sipil. Untuk Sumatera Utara dan Provinsi lain kehadiran pemimpin yang nasionalis dan tegas dan bersih sangat relevan, kecuali di Provinsi Papua karena terkait isu sensitif tentang hak asasi manusia sehingga TNI dan Polri belum bisa menjadi gubernur Papua.

Dalam konteks ini, sangat disayangkan jika Politisi sekelas Megawati Sukarno Putri masih menyimpan amarah dan dendam kesumat terhadap tentara. Sudah saatnya dibutuhkan bernafaskan politik kebangsaan dengan mengedepankan sistem meritokrasi dalam seleksi pimpinan daerah dan nasional. Dengan demikian kita dapat mengatasi tiga problem serius bangsa yaitu: 1) perilaku koruptif dan nepotisme. 2). Labilitas integrasi sosial. 3)Labilitas integrasi nasional. 4) bahaya perang proxy. Semuanya dapat teratasi jika pemimpin daerah dan pusat yang bersih, tegas dan berwibawa.

Megawati sudah seharusnya mengedepankan politik kebangsaan di Sumatera utara, bukan membalas dendam kesumat terhadap militer. Bagaimanapun Sumatera Utara saat ini membutuhkan pemimpin yang bersih dan berwibawa dari gubernur dari sipil terdahulu yang penuh dengan Problematik.

(Natalius Pigai, komisioner Komnas HAM 2012-2017/ Aktivis 98 dan Alumni Kelomok Cipayung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pribadi Yesus

SELAMAT PASKAH 2017 : Tiga Hari Suci Dan Minggu Paskah

Renungan dan Doa Di Ulang Tahunku